Kupegang surat itu dengan erat. Aku memegangnya dengan perasaan campur aduk. Ada sisi kelegaan, tapi sisi lain ada sisi kecewa, sedih yang mengaduk aduk perasaanku siang itu. Aku melangkah gontai, entah perasaan macam apa yang mengikutiku hingga ke pintu keluar. Ada yang memenuhi dada ini, begitu sesak. Sebelum melangkah keluar pagar, aku menatap lagi ke arah rumah itu. Kuperhatikan lagi logo-logonya, dan kenangan bersamanya pun menyeruak. Rumah yang sederhana.
Keputusan sudah kubuat. Jika sesuatu tidak bisa diperbaiki, pilihannya hanya ada dua, take it or leave it. Menerima itu sebagai bagian dari kewajiban yang harus dijalankan tanpa boleh protes, atau meninggalkan, mencari sesuatu yang lebih baik. Dan aku memilih option kedua. Aku sudah tidak peduli dengan omongan orang dibelakangku. Mereka yang suka mencari kesalahan orang lain, tanpa harus berkaca pada diri mereka sendiri. Aku begitu muak. Aku selalu dipersalahkan. Tapi disisi lain, aku sedikit terhibur, karena aku memiliki teman-teman yang menyenangkan. Belum pernah aku begitu bergairah untuk berdiskusi, merencanakan sesuatu ke depannya. Hidup memang adil, disisi lain ada yang orang yang begitu menyebalkan, disisi lain ada teman yang begitu menyenangkan, di waktu yang sama!.
Aku berencana ke Mall siang terik itu, janji dengan seorang teman. Setelah makan di Solaria, dan bercerita panjang lebar, kamipun berpisah. Ketika keluar mall, ternyata diluar hujan deras. Lama aku termenung di luar, hanya sekedar memutuskan naik taksi, atau tetap menunggu hujan reda. Ada potongan-potongan peristiwa yang terlintas di kepalaku. Bayang-bayang kejadian lalu itu seperti lekat sekali, seperti baru terjadi satu dua hari. Aku tersenyum kecut. Ada pilu, ada marah yang tertahan. Tapi kali ini, aku berhasil menahannya.
Hari semakin sore, hujan belum juga reda. Akhirnya aku memutuskan untuk naik taksi. Aku telah meninggalkannya. Inilah akhir dari cerita itu. Dan akupun memulai hidup baru dengan lembaran baru.