5.21.2011

Lelaki Tua




Lelaki tua itu biasa duduk di depan pagar rumahnya, dengan kursi reot yang mengayun-ayun badannya. Tidak banyak yang ia lakukan, selain hanya duduk-duduk dan memperhatikan orang-orang yang lewat di depan rumahnya.

Orang-orang memanggilnya Engkong. Ya, dia memang pria keturunan Tionghoa yang tinggal tidak jauh dari rumahku. Rumah kami hanya selisih 2 rumah. Sehingga ketika aku membuka pagar kerap kali melihat Engkong yang duduk tanpa mengenakan baju, bertelanjang dada. Sesekali ia menyapa dengan gaya ramahnya, "Mau pergi kerja, Uni?".

Kadang aku merasa aman dengan adanya Engkong yang suka duduk di depan rumahnya. Dengan demikian, secara tidak langsung, ia menjaga rumahku yang sering kosong. Engkong memang mengenal baik orang-orang disekeling kompleks kami. Sehingga jika ada orang asing yang lewat, dia pasti akan curiga. Makanya aku selalu merasa aman meninggalkan rumah dalam keadaan kosong.


Pernah, sekali waktu, mobilku mogok. Aku panik sekali. Gak ada orang yang bisa menolongku, karena aku sedang tinggal sendirian dirumah. Dengan sigap, si Engkong menawarkan bantuan. Dia mengecek mobilku dan bilang "ini akinya udah soak. Harus diganti." Lalu, aki mobil yang nyaris kering itupun diisinya dan, sim salambim, entah apa yang Engkong lakukan, si mobil bisa nyala!. Engkong pun bercerita waktu masih muda ia pernah punya bengkel. Karena persaingan yang ketat, bisnis bengkelnya pun karam.

Engkong tinggal bersama anak laki-lakinya. Sebenarnya ia juga risih tinggal bersama menantu perempuan, tapi anaknya inilah yang paling mampu diantara anaknya yang lain. Di umurnya yang menginjak 71 tahun, ia tidak memiliki sumber nafkah yang lain selain bergantung pada anaknya.

Sudah lama aku tidak berbincang dengan Engkong. Sejak aku mulai kerja dan sibuk dengan urusan lainnya. Aku hanya mendengar kabar bahwa Engkong sedang sakit. Tapi entah mengapa aku tidak sempat menjenguknya. Sampai aku mendengar kabar, bahwa Engkong meninggal.

Aku pun segera datang ke rumah duka. Sesampai disana, aku tidak merasakan haru biru kesedihan layaknya orang tua meninggal. Tidak ada tangisan dan air mata. Tidak ada penghormatan yang layak terhadap Engkong.Engkong beru meninggal sekitar 45 menit yang lalu. Belum lama. Aku melihat Engkong yang masih berbaring di kamarnya.

Kamarnya lebih layak kusebut gudang. Ada tv reot, ember, payung, sarung yang bergantung dan pernak-pernik yang penuh sesak. Jendelanya pun seadanya. Sehingga aku dapat merasakan pengapnya kamar Engkong.

Aku melihat ekspresi wajah mereka satu per satu. Tak ada kesedihan. Sepertinya kepergian Engkong adalah suatu kelegaaan. Bahkan belum satu jam meninggal, jenazah Engkong hendak di kremasi malam itu juga. Ini memang pesan Engkong yang beragama Konghucu, kalo kelak dia meninggal, dia ingin dikremasi dan dibuang ke laut.

Anak-anak Engkong banyak yang beragama Islam, termasuk anak dimana Engkong tinggal. Mereka muslim yang taat. Tapi Engkong memang tidak tertarik memeluk agama Islam dan tetap setia pada agama leluhurnya, Konghucu.

Sehingga, di hari kematian Engkong, tak ada terdengar ayat-ayat Qur'an lazimnya orang meninggal. Semua merasa bingung bagaimana caranya mendoakan Engkong. Termasuk para tetangga. Konon, kabarnya, doa orang yang tidak seiman, tidak akan sampai ke Tuhan.

Aku sendiri merasa sedih. Bukan karena aku takut doaku tidak sampai, tapi sedih karena Engkong tidak mendapatkan penghormatan dari anak-anaknya. Bahkan ketika sakitpun, Engkong tidak dibawa ke Rumah Sakit. Alasannya, si Engkong tidak mau.

Aku jadi ingat Ayah. Walau sudah 3 tahun yang lalu Ayah meninggal, sampai detik inipun aku masih menangis mengingatnya. Kenangan bersamanya abadi dalam jiwaku. Aku menangis. Menangis karena ingat sama Ayah.

20 comments:

I-one said...

kasih orang tua sepanjang jalan,kasih anak sepanjang galah

Kang Sofyan said...

Hmm..critanya menghrukan,.tpi stidaknya mreka menghargai jenazah engkong kak sbg org tua mreka..miris skali

warsito said...

kisah yang mengharukan membuat hati mris mendengarnya

Kamal Hayat said...

Mari kita bantu si Engkong itu, bukatikan solidaritas kita

choirunnangim said...

assalamu'alaikum mba isti..?
jangan sedih lagi ya...?
please.. kenangan bukan untuk dilupakan dan bukan penyebab tangisan...
kenangan dibutuhkan untuk meningkatkan iman dalam dada...

koskakiungu said...

assalmu'alaikum, kunjungan perdana..
kisah yang sangat menyedihkan, mungkin si anaknya engkong belum memperkenalkan islam lebih dalam jadinya si engkong tidak tertarik.. :)
banyak pesan moral yang bisa diambil dari kisah ini,

saya follow yah,hihi

Gaphe said...

ini kisah nyata atau fiksi Isti?.. soalnya berasa kisah nyata nih bacanya.. larut tenggelam di dalam cerita engkong. Sedih, karena ternyata perbedaan keyakinan menghalangi niatan seseorang untuk mendoakan..

isti said...

@Gaphe : ini cerita bener ..dia tetanggaku..:((

Anonymous said...

Karena Engkong beda agama, sehingga tidak ada yang mendoakan :(

Semoga Ayahanda Mbak Isti, diterima dengan lapang disisiNya.

Jangan sedih ya Mbak..
Salam kenal^^

Penghuni 60 said...

sudahlah, gak usah bersedih...
relakan, dan kirimilah mereka doa...
hingga mereka tenang disana.

andipeace said...

sayangilah orang tua selagi mereka masih bisa menyayangimu.

salam sejaterah dan sukses selalu mas bro

Susi Susindra said...

Salam kenal, mbak Isti.
Jika kita berkenan melihat sekitar, ada banyak sekali hal yang harus ditulis. Dengan bangga maupun haru biru seperti ini. Apapun itu, selalu ada hikmah dan rasa syukur tak terhingga karena kita lebih baik dari mereka.
Semoga amalan engkong diterima Allah, hanya itu yang bisa kita do'akan karena saya juga bingung do'a apa yang bisa kita berikan bagi mereka yang non muslim.

Unknown said...

kasihan si engkong ya. saya baru tahu doa orang yg tidak seiman tidak sampai kepada Tuhan. Bukannya Tuhan itu satu? Mestinya sampai ya semua doa kita.

Anonymous said...

cerita yang menggugah ... :) luar biasa !

Arif Chasan said...

ya Allah... sedih sekali ngebacanya... :'(

engkong, moga mendapat tempat yg layak atas semua kebaikannya..

airyz said...

inget ayah dirumah :(

wawank said...

Sungguh.., sangt bermanfaat nan inspiratif bagi kita semua.!

aRuL said...

semoga ekspresi bukan sebagai tanda,
semoga kepergian tak selalu membawa kesedihan mendalam, tetapi mengambil hikmahnya.

Semoga itu yg dirasakan oleh anak2nya

Citra said...

Sungguh di sekitar kita terlalu banyak pertanda dan nasihat jika kita memperhatikan
Mbak Isti, salam kenal :)

xamthone plus said...

cerita'y sangt mengharukan sekli nih,,,bisa di ambil hikmah'y jg.
tetap semangat ya engkong,,,